Pada tahun pertama masa jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto mengumumkan sebuah kebijakan kontroversial: rencana pembebasan massal narapidana dalam rangka reformasi besar-besaran sistem pemasyarakatan. Kebijakan ini menuai perhatian luas dari masyarakat, pengamat hukum, hingga organisasi hak asasi manusia. Di satu sisi, rencana ini dinilai sebagai bentuk terobosan untuk mengatasi overkapasitas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), namun di sisi lain dianggap menimbulkan risiko baru terhadap keamanan publik dan supremasi hukum.
Artikel ini akan membahas secara mendalam latar belakang, landasan hukum, jenis narapidana yang akan dibebaskan, pro dan kontra, serta dampak sosial dan politik dari kebijakan tersebut.
Latar Belakang Kebijakan
1. Kondisi Lapas yang Kian Memburuk
Salah satu alasan utama pemerintah meluncurkan rencana ini adalah karena kondisi lembaga pemasyarakatan yang sudah jauh melampaui kapasitas. Menurut data Kementerian Hukum dan HAM per Mei 2025, terdapat lebih dari 300.000 narapidana di Indonesia, sementara kapasitas ideal hanya sekitar 150.000 orang.
Faktor penyebab overkapasitas antara lain:
- Banyaknya narapidana kasus narkoba (terutama pemakai)
- Hukuman minimal yang terlalu tinggi
- Penundaan pembebasan bersyarat karena syarat administratif
- Ketidakefisienan sistem peradilan pidana
2. Komitmen Pemerintah terhadap Reformasi Hukum
Presiden Prabowo sejak masa kampanye sudah menyuarakan niat untuk melakukan “pembersihan dan penyederhanaan hukum pidana”. Pembebasan massal narapidana disebut sebagai langkah awal menuju reformasi yang lebih luas, termasuk:
- Dekriminalisasi terhadap pelanggaran ringan
- Percepatan proses hukum
- Penguatan sistem rehabilitasi dan reintegrasi sosial
Siapa yang Akan Dibebaskan?
1. Kriteria Narapidana
Pemerintah telah menyusun kriteria narapidana yang akan dibebaskan, di antaranya:
- Narapidana kasus narkotika kategori pemakai, bukan pengedar
- Narapidana tindak pidana ringan (hukuman di bawah 3 tahun)
- Narapidana lansia di atas 65 tahun
- Narapidana yang telah menjalani 2/3 masa tahanan dan berkelakuan baik
- Narapidana yang mengalami sakit kronis dan tidak memungkinkan untuk ditahan
Narapidana korupsi, terorisme, kekerasan seksual, pembunuhan berencana, dan kejahatan berat lainnya tidak termasuk dalam rencana ini.
2. Mekanisme Pembebasan
Rencana pembebasan akan dilakukan melalui beberapa skema:
- Asimilasi di rumah bagi napi menjelang akhir masa tahanan
- Pembebasan bersyarat yang dipercepat
- Remisi khusus untuk kategori tertentu
- Grasi Presiden untuk kasus-kasus kemanusiaan
Landasan Hukum
1. Undang-Undang Pemasyarakatan
UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan menjadi dasar legal untuk pembebasan ini. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa pemasyarakatan tidak hanya bertujuan menghukum, tetapi juga membina dan memulihkan.
2. Hak Konstitusional Presiden
Presiden RI memiliki hak konstitusional untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 14.
3. Kebijakan Humanis
Pemerintah menekankan bahwa pembebasan ini adalah bagian dari pendekatan humanis, terutama dalam menangani narapidana yang secara sosial dianggap tidak berbahaya lagi.
Reaksi Masyarakat dan Pro-Kontra
1. Pihak yang Mendukung
Beberapa pihak yang menyambut baik kebijakan ini:
- LSM HAM yang menilai hukuman penjara telah digunakan secara berlebihan
- Akademisi hukum yang menilai sistem pidana Indonesia terlalu represif
- Keluarga narapidana
- Kalangan medis yang menangani narapidana sakit
2. Pihak yang Menolak
Namun, banyak juga yang mengkritik kebijakan ini:
- Polisi dan jaksa yang merasa kerja keras penegakan hukum sia-sia
- Korban kejahatan dan keluarga yang trauma
- Tokoh masyarakat yang khawatir terhadap keamanan lingkungan
- Pengamat hukum yang menilai grasi massal rentan disalahgunakan
Studi Banding Internasional
Negara lain seperti Portugal, Belanda, dan Norwegia telah melakukan kebijakan serupa:
- Portugal mendekriminalisasi kepemilikan narkoba dalam jumlah kecil
- Belanda menutup sebagian penjara karena jumlah napi menurun
- Norwegia menerapkan sistem penjara terbuka dan pendekatan rehabilitatif
Namun implementasi di negara-negara tersebut didukung oleh sistem sosial dan hukum yang sangat kuat dan terstruktur. Indonesia harus hati-hati agar tidak terjadi kebocoran atau penyalahgunaan.
Dampak Sosial dan Ekonomi
1. Potensi Positif
- Pengurangan biaya negara untuk operasional lapas
- Pemulihan sosial narapidana di tengah masyarakat
- Efisiensi sistem hukum dan peradilan
- Penurunan angka kriminalitas akibat overpenahanan
2. Potensi Negatif
- Risiko napi kambuhan (residivis)
- Penolakan dari masyarakat sekitar
- Stigma terhadap napi yang kembali ke masyarakat
- Gangguan rasa aman di lingkungan tertentu
Strategi Reintegrasi Sosial
Pemerintah menyusun program reintegrasi sosial untuk narapidana yang dibebaskan:
- Pelatihan kerja dan kewirausahaan
- Bantuan sosial transisi
- Pendampingan psikologis dan spiritual
- Dukungan dari organisasi masyarakat sipil
Kementerian Sosial, Kemenkumham, dan Kepolisian akan membentuk Tim Monitoring dan Evaluasi.
Perspektif Politik
Kebijakan ini juga tak lepas dari spekulasi politik:
- Dinilai sebagai strategi populis untuk meningkatkan citra pemerintah
- Diduga sebagai bagian dari “perdamaian politik” dengan kelompok tertentu
- Dikhawatirkan menjadi preseden buruk jika dilakukan tanpa evaluasi menyeluruh
Namun pihak Istana menegaskan bahwa ini murni kebijakan hukum dan kemanusiaan, bukan politis.
Kesimpulan
Rencana pembebasan massal narapidana oleh Presiden Prabowo adalah langkah ambisius yang bisa menjadi awal reformasi besar di bidang hukum dan pemasyarakatan. Jika dilaksanakan dengan perencanaan matang, pengawasan ketat, dan dukungan masyarakat, kebijakan ini bisa memberikan manfaat besar. Namun jika dilaksanakan tanpa kehati-hatian, risiko sosial dan politiknya pun tak kalah besar.
Penting bagi pemerintah untuk menjaga transparansi, memastikan akuntabilitas, dan melibatkan publik dalam pengawasan kebijakan ini. Sejarah akan mencatat apakah ini menjadi kebijakan visioner atau blunder besar.