Berita Rakyat News

Menyampaikan Berita dengan Integritas, Menghadirkan Fakta dengan Kepedulian, dan Membangun Kepercayaan Publik Tanpa Kompromi.

Indonesia Tandatangani Perjanjian Dagang dengan Tarif 19% Dengan AS

Indonesia Tandatangani Perjanjian Dagang dengan Tarif 19% Dengan AS

Momen Bersejarah bagi Perdagangan Internasional

kedua negara resmi menandatangani perjanjian perdagangan bilateral yang menetapkan tarif rata-rata sebesar 19% untuk sejumlah komoditas utama. Kesepakatan ini diumumkan pada Konferensi Ekonomi Regional Asia-Pasifik (KERAP) di Jakarta, yang dihadiri oleh perwakilan dagang dari kedua negara serta para pelaku industri.

Perjanjian ini merupakan hasil negosiasi selama lebih dari 18 bulan yang melibatkan pembahasan intensif mengenai berbagai isu krusial seperti hak kekayaan intelektual, akses pasar, standar produk, hingga keberlanjutan lingkungan.

Latar Belakang Perjanjian

Selama lebih dari satu dekade, hubungan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat mengalami pasang surut, terutama karena ketidakseimbangan perdagangan dan sejumlah hambatan tarif dan non-tarif. Pada tahun 2023 nilai ekspor Indonesia ke AS mencapai USD 28 miliar sementara impor dari AS hanya sekitar USD 7 miliar. Ketimpangan ini mendorong AS untuk menuntut akses pasar yang lebih luas dan transparansi kebijakan perdagangan Indonesia.

Di sisi lain, Indonesia mencari cara untuk menjaga pertumbuhan ekspor dan menarik investasi langsung asing (FDI) dari AS, salah satu mitra dagang utamanya. Dengan latar belakang inilah perjanjian dagang dengan skema tarif rata-rata 19% dirancang sebagai bentuk kompromi yang menguntungkan kedua belah pihak.

Isi Utama Perjanjian

1. Penyesuaian Tarif Impor dan Ekspor

Perjanjian ini menetapkan struktur tarif baru yang berlaku untuk lebih dari 500 produk dari kedua negara. Sebagian besar produk Indonesia yang diekspor ke AS seperti tekstil, produk agrikultur, dan komponen elektronik. akan dikenakan tarif rata-rata 19%, lebih rendah dibandingkan sebelumnya yang berkisar 25–30%.

Sebaliknya, produk AS seperti alat berat, farmasi, dan produk pertanian berteknologi tinggi akan mendapatkan tarif masuk yang lebih ringan ke pasar Indonesia, dari rata-rata 35% menjadi 19%.

2. Penyesuaian Aturan Asal Barang (Rules of Origin)

Dalam perjanjian ini, kedua negara sepakat untuk menyederhanakan aturan asal barang agar pelaku usaha kecil-menengah (UMKM) di kedua negara bisa lebih mudah memanfaatkan preferensi tarif tersebut.

3. Peningkatan Kerja Sama Investasi

Selain aspek perdagangan barang perjanjian ini juga mencakup komitmen peningkatan investasi AS di sektor-sektor strategis Indonesia seperti energi terbarukan, teknologi digital, dan infrastruktur.

Pemerintah AS melalui OPIC berencana mengucurkan dana investasi sebesar USD 1,5 miliar dalam lima tahun ke depan.

4. Ketentuan Perlindungan Lingkungan dan Sosial

Indonesia dan AS juga berkomitmen untuk menjadikan perdagangan lebih berkelanjutan. Salah satu pasal penting adalah pelarangan impor produk yang berasal dari praktik perusakan lingkungan atau tenaga kerja paksa. Ini menjadi sinyal bahwa perjanjian ini bukan hanya soal untung-rugi, tapi juga soal etika dagang.

Dampak bagi Indonesia

a. Peluang Pasar yang Lebih Luas

Dengan pengurangan tarif di pasar AS, produk-produk unggulan Indonesia diperkirakan akan lebih kompetitif. Sektor furnitur, karet olahan, alas kaki, dan pakaian jadi diperkirakan akan mengalami lonjakan permintaan dalam dua tahun ke depan.

b. Dorongan bagi UMKM

Aturan baru yang lebih sederhana membuka peluang besar bagi pelaku UMKM untuk menembus pasar internasional. Pemerintah Indonesia bahkan merencanakan program pelatihan ekspor untuk 10.000 UMKM agar mereka siap memanfaatkan kesempatan ini.

c. Peningkatan Lapangan Kerja

Dengan adanya investasi baru dari AS dan naiknya volume ekspor, sektor manufaktur Indonesia diperkirakan akan menyerap lebih dari 250.000 tenaga kerja baru dalam kurun waktu lima tahun ke depan.

Reaksi dari Pelaku Usaha

Berbagai asosiasi industri di Indonesia menyambut baik perjanjian ini. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Hariyadi Sukamdani, menyebut perjanjian ini sebagai “game-changer” dalam lanskap perdagangan Indonesia.

“Dengan tarif rata-rata 19%, ini adalah win-win solution yang memungkinkan kita tetap bersaing sambil menarik investor baru,” ujarnya.

Namun, beberapa pihak juga menyuarakan kekhawatiran. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang perlindungan petani memperingatkan bahwa masuknya produk pertanian AS yang murah bisa mengancam petani lokal jika tidak diimbangi dengan subsidi dan perlindungan domestik.

Tantangan dan Risiko

Ketergantungan pada Pasar AS

Walau membuka peluang besar, terlalu bergantung pada pasar AS juga berisiko jika terjadi perubahan kebijakan politik, seperti tarif baru yang bisa diberlakukan secara sepihak (seperti yang terjadi pada era Trump).

Kemampuan Produksi Lokal

Sektor-sektor tertentu di Indonesia mungkin belum siap memenuhi lonjakan permintaan global baik dari sisi kualitas, kapasitas produksi, maupun sertifikasi ekspor.

Tekanan terhadap Produk Lokal

Produk-produk AS yang masuk dengan tarif ringan dapat memicu persaingan sengit bagi produsen dalam negeri, terutama di sektor teknologi dan farmasi.

Sikap Pemerintah

Menteri Perdagangan RI, Zulkifli Hasan, menegaskan bahwa pemerintah telah menyiapkan skema mitigasi untuk melindungi sektor yang rentan terhadap lonjakan impor, termasuk pemberlakuan tarif safeguard dan program restrukturisasi industri lokal.

“Kita tidak sedang membuka pintu selebar-lebarnya tanpa pengaman. Justru, kita ingin UMKM naik kelas, dan industri besar semakin kompetitif,” tegasnya.

Masa Depan Perdagangan Indonesia-AS

Perjanjian ini dipandang sebagai langkah strategis Indonesia dalam memperluas jaringan dagang dan memperkuat posisinya dalam rantai pasok global. Dengan tekanan geopolitik global dan konflik dagang antara negara besar lainnya, kemitraan strategis dengan AS menjadi penting untuk menjaga kestabilan ekonomi nasional.

Langkah ini juga membuka jalan untuk kemungkinan Indonesia bergabung dalam kerangka perdagangan yang lebih luas seperti

Indo-Pacific Economic Framework (IPEF), yang sebelumnya ditawarkan oleh AS kepada negara-negara di Asia-Pasifik.

Kesimpulan

Perjanjian dagang Indonesia–AS dengan tarif rata-rata 19% merupakan tonggak penting dalam hubungan ekonomi kedua negara. Meskipun masih ada tantangan, peluang yang ditawarkan sangat besar—mulai dari peningkatan ekspor, arus investasi masuk, hingga penciptaan lapangan kerja.