Per 1 Agustus 2025, Indonesia secara resmi memberlakukan Aturan Pajak Crypto terbaru. Bukan sekadar revisi kecil, kebijakan ini mengubah secara fundamental bagaimana crypto diperlakukan dalam ekosistem fiskal nasional. Pajak penghasilan (PPh) final dihapus, pajak pertambahan nilai (PPN) dinaikkan untuk aktivitas tertentu, dan yang paling kontroversial: pengguna exchange luar negeri akan dikenai tarif pajak lebih tinggi dari sebelumnya.
Ini bukan hanya perubahan angka. Ini adalah momen redefinisi: negara hadir sebagai regulator aktif, menuntut keterbukaan, transparansi, dan kontribusi dari industri digital yang selama ini nyaris beroperasi di “pinggiran sistem formal”.
Lalu, seperti apa detail kebijakan ini? Apa dampaknya bagi investor kecil hingga korporasi Web3? Apakah ini akan mematikan pasar crypto Indonesia, atau justru mematangkan ekosistemnya? Artikel ini akan membahas semuanya secara rinci aturan pajak crypto terbaru.

Mengapa Pemerintah Menyetujui Aturan Baru Ini?
1. Posisi Crypto dalam Sistem Keuangan Nasional
Aset crypto di Indonesia masih dilarang sebagai alat pembayaran, tetapi telah sah sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan berdasarkan keputusan Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi). Artinya, crypto bukan mata uang, tapi bisa menjadi instrumen investasi layaknya emas atau saham.
Sejak booming-nya pasar crypto pasca-2020, nilai transaksi di bursa crypto Indonesia mencapai triliunan rupiah setiap bulan. Namun, kontribusinya terhadap pajak nasional relatif kecil. Di sinilah muncul urgensi regulasi.
2. Kelemahan Skema Pajak Lama (2022–2024)
Pada 2022, pemerintah memberlakukan pajak ganda:
- PPh Final 0,1%
- PPN 0,11%
Namun dalam praktiknya, skema ini:
- Tidak adil: exchange lokal terbebani, sementara banyak transaksi “lari” ke platform asing.
- Tidak efisien: pelaporan pajak crypto rumit bagi wajib pajak pribadi.
- Tidak akurat: mining, staking, airdrop, dan DeFi tidak terjangkau sistem.
Detail Lengkap Aturan Pajak Crypto Baru (Mulai 1 Agustus 2025)
1. Perubahan Tarif dan Skema
Kategori | Tarif Lama | Tarif Baru per 1 Agustus 2025 |
---|---|---|
PPh Final Transaksi | 0,1% | Dihapus |
PPN atas Pembeli | 0,11% | Dihapus |
Pajak Transaksi di Exchange Lokal | 0,21% (PPN + PPh) | 0,21% (hanya PPN) |
Pajak Transaksi di Exchange Luar Negeri | 0,21% | 1% (pajak tambahan final) |
Pajak Mining Aset Crypto | 0,11% | 2,2% (PPN) |
PPh atas Capital Gain | Tidak Berlaku | Berlaku tarif umum mulai 1 Jan 2026 |
2. Rujukan Regulasi
- PMK No. 68 Tahun 2025 tentang Perubahan atas PMK No. 68 Tahun 2022
- Dirilis oleh Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan
Analisis Dampak bagi Berbagai Kelompok Pelaku
1. Investor Retail
Bagi trader pemula atau investor kecil, dampak langsungnya adalah biaya transaksi meningkat, terutama jika menggunakan exchange luar negeri. Namun, bagi pengguna platform lokal, tidak ada perubahan berarti pada 2025.
Yang paling penting untuk disadari:
Mulai tahun 2026, seluruh keuntungan dari jual beli crypto wajib dilaporkan sebagai penghasilan. Artinya, strategi hold jangka panjang harus disertai dengan pelaporan fiskal tahunan.
2. Exchange Lokal
Platform seperti Indodax, Tokocrypto, Pintu, Rekeningku harus:
- Menyediakan laporan transaksi otomatis untuk pengguna
- Menyusun sistem API pelaporan ke DJP
- Menyimpan data transaksi selama 5 tahun ke depan untuk audit
Namun, ini sekaligus membuka peluang:
- Legalitas bertambah kuat
- Investor institusional lebih percaya untuk masuk
3. Penambang (Miner)
Salah satu kelompok yang paling terdampak. Kenaikan PPN menjadi 2,2% membuat:
- Penambangan kecil/kos-kosan bisa bangkrut
- Penambang harus membuat laporan faktur, seolah mereka menjual “produk hasil tambang”
- Hanya penambang dengan modal besar dan efisiensi tinggi yang bisa bertahan

Tanggapan Publik, Komunitas, dan Praktisi Industri
1. Komunitas Trader dan Investor
Sejak diumumkannya regulasi baru, forum seperti Reddit, Telegram komunitas crypto, dan X (Twitter) dipenuhi diskusi pro-kontra. Banyak investor pemula mengekspresikan kekhawatiran atas kewajiban pelaporan pajak capital gain, sementara trader aktif mempertanyakan akurasi sistem pajak dalam mencatat ribuan transaksi harian.
Contoh reaksi komunitas:
- “Kalau sampai kena 35% PPh capital gain, fix pindah ke luar negeri!”
- “Lebih baik transaksi di DEX, lalu kirim ke cold wallet. Pajak tetap aman.”
Namun, sebagian komunitas justru menyambut baik aturan ini:
- “Ini awal dari adopsi massal dan legalitas. Kalau mau institusi besar masuk, pasar harus diatur.”
- “Lebih baik ada kepastian pajak daripada hidup dalam ketakutan.”
2. Praktisi Hukum dan Pajak
Ahli pajak digital mengingatkan bahwa:
- Crypto dianggap “aset tetap tidak berwujud” — dan harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).
- Airdrop, reward staking, hasil mining, dan yield farming akan dianggap penghasilan tambahan.
- Jika transaksi besar dan tidak dilaporkan, potensi denda dan sanksi bisa muncul hingga 200% (UU KUP).
Mereka juga menilai DJP masih perlu menyempurnakan pedoman teknis pelaporan, agar investor tidak bingung saat menyusun laporan tahunan.
Perbandingan dengan Regulasi Crypto di Negara Lain
Agar dapat memahami posisi Indonesia secara global, berikut adalah perbandingan dengan beberapa negara lain:
Negara | PPN atas Transaksi | Pajak Capital Gain | Pajak Mining | Catatan Khas |
---|---|---|---|---|
Indonesia | 0,21% (lokal), 1% (asing) | Berlaku mulai 2026 | 2,2% | Terstruktur dengan tarif progresif |
Singapura | Tidak ada | Tidak ada | Tidak ada | Surga pajak Crypto, namun tetap diawasi |
AS | Tidak ada | 10–37% (tergantung durasi) | Ya | IRS sangat ketat, audit intensif |
India | 1% TDS, 30% CGT | Ya | Ya | Regulasi paling keras di dunia |
Jepang | 15–55% | Ya | Ya | Pendekatan ketat, namun legal |
Portugal | Tidak ada | Tidak ada (retail) | Tidak ada | Salah satu tempat ramah investor |
Indonesia menempati posisi menengah–ketat, namun tetap memberi ruang bagi perkembangan industri. Fokus utamanya adalah kewajiban transparansi dan kontribusi fiskal.
Strategi Adaptasi untuk Investor dan Perusahaan
1. Pencatatan & Pelaporan Terstruktur
Investor harus mulai mendata semua aktivitas Crypto, termasuk:
- Transaksi spot, futures, margin
- Staking, lending, farming
- Airdrop, hadiah referral
- Perpindahan antar dompet
2. Gunakan Exchange Legal & Terdaftar
Dengan tarif lebih ringan dan perlindungan hukum, exchange lokal seperti:
- Indodax
- Tokocrypto
- Rekeningku
- Pintu
menjadi pilihan strategis. Keuntungan lainnya: integrasi otomatis ke pelaporan pajak dan perlindungan dana nasabah.
3. Konsultasi Profesional
Investor skala menengah atau besar disarankan:
- Menggunakan jasa konsultan pajak digital
- Membuat perencanaan fiskal tahunan
- Memisahkan wallet pribadi vs wallet bisnis

Bagaimana Masa Depan Industri Crypto di Indonesia?
1. Legalitas = Akses ke Institusi
Dengan masuknya pajak resmi, aset Crypto akan:
- Lebih diterima oleh bank dan lembaga keuangan
- Bisa digunakan sebagai jaminan (collateral)
- Potensi regulasi ETF dan produk derivatif berbasis crypto
2. Potensi Risiko dan Kendala
Namun, beberapa tantangan akan muncul:
- Investasi asing bisa beralih ke negara bebas pajak
- Developer Web3 bisa kabur ke Dubai, Singapura, dll
- Kebijakan bisa terlalu cepat berubah jika tidak konsisten
3. Rekomendasi untuk Pemerintah
- Bangun “Crypto Tax Center” untuk edukasi & konsultasi
- Buat amnesty fiskal untuk aset crypto lama
- Perluas sistem e-filing untuk transaksi crypto

Kesimpulan
Aturan pajak crypto terbaru di Indonesia bukan sekadar kebijakan fiskal ia adalah sinyal bahwa negara ingin membentuk ekosistem digital yang terbuka, legal, dan berkelanjutan. Meski ada biaya yang harus dibayar, baik berupa tarif maupun adaptasi, jalan menuju masa depan crypto yang matang tidak bisa dihindari.
Investor cerdas akan melihat ini sebagai momentum restrukturisasi, bukan hambatan. Legalitas membuka banyak pintu: institusi masuk, produk baru hadir, dan pasar berkembang lebih cepat.
Kunci keberhasilan ada di edukasi, transparansi, dan kemauan untuk berubah bersama zaman.