Industri kuliner dan industri musik di Indonesia mungkin terlihat berjalan di jalur berbeda. Satu berfokus pada cita rasa dan pelayanan, sementara yang lain berputar pada nada, harmoni, dan kreativitas. Namun, dalam praktiknya, keduanya sering bertemu. Musik menjadi bagian penting dari suasana restoran, sementara restoran menjadi salah satu ruang publik di mana musik diputar. Pertemuan inilah yang menjadi inti kasus sengketa royalti musik Mie Gacoan sebuah polemik yang bukan hanya berbicara soal uang, tapi juga soal hukum, etika, dan penghargaan terhadap karya.
Musik dan Identitas Bisnis Mie Gacoan
Sejak awal berdiri, Mie Gacoan tidak hanya menjual mie pedas dengan harga terjangkau. Brand ini membangun pengalaman pelanggan yang unik: interior modern, suasana ramai, dan musik-musik hits yang selalu menemani. Bagi pelanggan muda, musik di gerai Mie Gacoan menjadi daya tarik tambahan. Mereka bisa menikmati makanan sambil mendengarkan lagu populer yang sedang viral di TikTok atau YouTube.
Namun, di balik denting nada yang terdengar santai itu, ada aturan hukum yang jarang diketahui pelaku usaha. Di Indonesia, pemutaran musik di ruang publik untuk kepentingan komersial termasuk dalam kategori “pengumuman” menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Artinya, restoran, kafe, hotel, atau tempat hiburan wajib membayar royalti kepada pencipta lagu atau pemegang hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) atau Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Banyak pelaku usaha yang mengira bahwa langganan platform musik berbayar seperti Spotify Premium atau YouTube Premium sudah mencakup hak memutar lagu di ruang publik. Kenyataannya, lisensi tersebut hanya untuk penggunaan pribadi (personal use). Untuk pemutaran di ruang publik, lisensi yang dibutuhkan berbeda, dan inilah yang menjadi sumber masalah bagi Mie Gacoan.
Awal Mula Sengketa Royalti Musik
Sumber dari industri musik menyebutkan bahwa pihak LMKN menerima laporan dari pencipta lagu bahwa karya mereka sering diputar di outlet Mie Gacoan. Namun, data LMKN menunjukkan bahwa brand tersebut belum memiliki lisensi publik untuk memutar lagu-lagu tersebut. Laporan ini memicu pemeriksaan internal, yang kemudian mengarah pada pengiriman surat peringatan kepada manajemen Mie Gacoan.
Surat tersebut berisi:
- Pemberitahuan tentang kewajiban lisensi publik.
- Permintaan klarifikasi terkait penggunaan lagu.
- Tuntutan pembayaran royalti sesuai tarif yang berlaku.
Tarif ini diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 20 Tahun 2021, yang menetapkan besaran royalti berdasarkan luas area dan kapasitas kursi restoran. Untuk jaringan sebesar Mie Gacoan, angka ini bisa mencapai ratusan juta rupiah per tahun jika semua outlet dihitung.
Reaksi dan Argumen Mie Gacoan
Pihak Mie Gacoan membantah melakukan pelanggaran hukum secara sengaja. Mereka menegaskan bahwa musik yang diputar di outlet mereka bersumber dari platform berbayar resmi. Namun, dari sudut pandang hukum, klaim ini tidak menghapus kewajiban lisensi publik. LMKN menegaskan bahwa lisensi personal dari platform streaming tidak sama dengan lisensi untuk pemutaran publik di ruang komersial.
Mie Gacoan juga menyampaikan keberatan terkait transparansi pembagian royalti oleh LMK. Mereka mempertanyakan apakah dana yang dikumpulkan benar-benar sampai ke tangan pencipta lagu secara proporsional.
Pandangan Publik dan Media
Kasus ini cepat menjadi viral. Media nasional memberitakan sengketa ini, sementara netizen terbelah pendapat:
- Pro-pencipta lagu: Hak cipta harus dihormati, dan brand besar seperti Mie Gacoan harus memberi contoh.
- Pro-Mie Gacoan: Aturan royalti dianggap memberatkan, terutama jika musik hanya digunakan sebagai hiburan tambahan.
Debat di media sosial membuat kasus ini semakin sensitif, dan tekanan publik mendorong kedua pihak untuk segera mencari solusi damai.
Proses Negosiasi dan Mediasi
Alih-alih membawa kasus ini ke pengadilan, kedua pihak sepakat untuk menempuh jalur negosiasi. Beberapa pertemuan tertutup dilakukan dengan fasilitasi dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
Dalam proses ini:
- LMKN memaparkan daftar lagu yang diputar di outlet Mie Gacoan beserta penciptanya.
- Mie Gacoan mengusulkan skema pembayaran yang lebih fleksibel dan sesuai intensitas pemutaran musik.
- Diskusi juga menyentuh ide kerja sama jangka panjang, termasuk penggunaan musik dari artis independen yang lisensinya lebih mudah diatur.
Mediasi berlangsung alot, tetapi keduanya menyadari bahwa penyelesaian damai jauh lebih menguntungkan daripada perang hukum.
Kesepakatan Akhir
Setelah serangkaian diskusi, tercapai kesepakatan:
- Pembayaran royalti untuk periode berjalan, sesuai tarif yang disepakati.
- Pengurusan lisensi publik untuk semua outlet Mie Gacoan.
- Komitmen transparansi dari LMKN terkait laporan distribusi royalti kepada pencipta lagu.
- Kemungkinan kolaborasi Mie Gacoan dengan musisi independen sebagai langkah branding.
Kesepakatan ini diumumkan dalam konferensi pers singkat, yang sekaligus menutup polemik panjang di publik.
Dampak bagi Industri
Kasus ini membawa dampak luas:
- Bagi Mie Gacoan: Pelajaran penting soal kepatuhan hukum dan manajemen reputasi.
- Bagi pelaku kuliner: Kesadaran bahwa musik di ruang publik bukan sekadar hiburan gratis.
- Bagi musisi: Penegasan bahwa hak cipta memiliki nilai ekonomi yang harus dilindungi.
Pelajaran Penting dari Kasus Ini
- Pahami perbedaan lisensi personal dan publik – Jangan berasumsi bahwa langganan Spotify otomatis memberi hak untuk memutar lagu di bisnis Anda.
- Jaga transparansi – Pelaku usaha berhak tahu ke mana uang royalti mereka mengalir.
- Cari solusi kreatif – Menggunakan musik independen atau bekerja sama dengan artis lokal bisa mengurangi beban royalti sekaligus memperkuat identitas brand.
- Hargai karya seni – Musik bukan sekadar latar, tetapi hasil kerja keras penciptanya.
Penutup
Penyelesaian sengketa royalti musik Mie Gacoan menjadi contoh nyata bahwa industri kuliner dan musik saling bergantung. Bisnis yang ingin memanfaatkan musik sebagai bagian dari pengalaman pelanggan harus memahami dan menghormati hukum hak cipta. Sementara itu, lembaga pengelola royalti harus memastikan transparansi dan keadilan bagi semua pihak.
Dengan komunikasi yang baik dan solusi kreatif, konflik serupa di masa depan bisa dihindari. Pada akhirnya, baik mie pedas maupun nada lagu punya satu kesamaan: sama-sama dinikmati lebih baik ketika dibayar dengan layak.